Jakarta – Harga cabai dan bawang merah di Tanah Air kerap bergejolak seperti yang terjadi belakangan. Meski demikian, Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut gejolak harga kedua komoditas hortikultura tersebut bukan dikarenakan kekurangan pasokan, tetapi lebih karena karakteristik dari komoditas tersebut.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto menjelaskan cabai misalnya, merupakan komoditas yang mudah rusak (perishable). Produksi cabai ataupun bawang merah sangat bertumpu pada musim.
Daya tahan cabai segar hanya berkisar antara satu sampai tiga hari. Semakin rendah kesegarannya, maka akan semakin jatuh harganya. Di sisi lain, harga bawang merah relatif stabil dari cabai karena karakteristiknya yang lebih tahan lama dan mengalami penyusutan yang lebih sedikit.
Berbeda dengan komoditas beras, gula atau kedelai yang memiliki kebijakan pro-produsen, komoditas hortikultura memiliki kebijakan pro-konsumen. Ketika harga tinggi, petani terkesan ‘terancam’ oleh operasi pasar, tetapi ketika harga jatuh mereka merasa dibiarkan. Hal ini agaknya perlu disadari berbagai pihak.
“Kementerian Pertanian di bawah kepemimpinan Menteri Syahrul Yasin Limpo (SYL), berusaha merancang program dan kegiatan yang berpihak penuh kepada petani. Di mulai dari sisi hulu, pendampingan selama masa budi daya bahkan hingga sisi pascapanen,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/1/2021).
Saat konferensi pers di Gedung PIA Kementan, Jumat (29/1) kemarin, Prihasto mengatakan terkait penjagaan ketersediaan, Kementan dilengkapi dengan Early Warning System (EWS) yang dapat memberikan acuan untuk pola tanam agar tidak terjadi over produksi. Data EWS tersinkronisasi ke seluruh provinsi di Indonesia yang datanya langsung dari tingkat kecamatan.
“Jika dilihat dari prognosa ketersediaan produksi dalam Early Warning System (EWS), untuk komoditas cabai dan bawang tidak menunjukkan neraca yang negatif. Masih surplus hingga empat bulan ke depan,” ujarnya.
“Secara kumulatif nasional, surplus produksi bawang merah bulan Januari-April sebanyak 57 ribu ton rogol. Surplus cabai besar bulan Januari-April sebanyak 107.702 ton, dan cabai rawit sebanyak 111.058 ton,” imbuhnya.
Prihasto menerangkan di sisi hilirnya, Kementan menyediakan distribusi transportasi agar cabai atau bawang merah dapat dibawa dari daerah yang harganya rendah ke daerah yang harganya tinggi. Dengan demikian, produsen maupun konsumen sama-sama bisa dibantu.
Berdasarkan data yang diambil dari Sistem Informasi Pemasaran Hortikultura, harga beberapa komoditas strategis seperti cabai merah keriting relatif masih terkendali.
Harga ini memang sempat tinggi pada pertengahan Desember 2020 hingga pertengahan Januari 2021, tetapi kembali turun pada akhir Januari 2021. Kondisi ini, terang Prihasto, bersifat sementara dan masyarakat diharapkan dapat berlaku tenang.
“Angka kebutuhan cabai rawit pada Februari 70.005 ton sementara prognosa diperkirakan 89.717 ton. Ini artinya terjadi surplus yang kemungkinan besar harga akan kembali normal,” jelas Prihasto.
Meskipun agak tinggi, beberapa pengamat ekonomi menyarankan pemerintah tidak ikut intervensi akan kenaikan harga sejumlah komoditas terkecuali bawang putih. Hal ini untuk memperbaiki Nilai Tukar Petani (NTP) yang terus merosot selama pandemi COVID-19.
Untuk mengatasi gejolak harga cabai terkait karakteristiknya yang mudah rusak, Kementan melalui Ditjen Hortikultura mengembangkan fasilitas rantai pendingin meliputi bangsal pascapanen, revitalisasi subterminal agribisnis, bantuan cold storage dan truk berpendingin
Selain itu, Ditjen Hortikultura juga turut memfasilitasi rumah produksi, alat-alat pengering (dome drying), alat pengolahan pasta bawang atau pasta cabai.
Tak sampai di situ, Ditjen Hortikultura turut menyediakan aplikasi penjualan online produk segar dan olahan secara gratis untuk pelaku agribisnis lewat platform hortitraderoom.com yang dapat diakses bebas bayar. Selain itu pemerintah juga mengajak pihak swasta dan BUMN untuk dapat menyerap produk dari petani.
(ncm/ega)