Jumlah penduduk dunia terus bertambah, sementara planet bumi ukurannya tak berubah. Kebutuhan akan jumlah dan kualitas pangan terus berkembang, sementara areal pertanian menciut. Jangan heran bila para ahli pertanian dunia pun pusing untuk memprediksi sistem pangan global, yang ke depan makin kompleks dan tidak pasti.
Sumber ketidakpastiannya adalah ketersediaan lahan dalam keberlanjutan sistem pangan. Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) sudah cukup lama menyoroti masalah ketersediaan lahan bagi ketahanan pangan. Di tingkat global, FAO memproyeksikan kebutuhan lahan pertanian bisa mencapai 5,4 miliar hektar pada 2030 dari kondisi saat ini 5,1 hektare.
Pelbagai skenario pun ditawarkan agar penggunaan lahan menjadi lebih optimal. Pasalnya, pembukaan dan perluasan lahan pertanian tentu harus memperhatikan banyak aspek, seperti masalah lingkungan, terganggunya ekosistem.
Toh, isu lingkungan tak menyurutkan agenda PBB mengawal masyarakat tetap mendapatkan nutrisi dengan terjaganya produktivitas lahan sebagai bagian ketahanan pangan. Tak dipungkiri, isu konversi lahan produktif pertanian menjadi momok yang menghantui ketahanan pangan banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Pemerintah pun sangat serius memperhatikan masalah tersebut demi menjamin ketersediaan dan akses pangan bagi masyarakatnya.
Adanya masalah konversi lahan itu terkonfirmasi dari data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang Wilayah, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Pertanian. Lahan pertanian juga makin susut. Pada 2019, luas baku sawah nasional hanya 7,465 juta hektare, turun dibandingkan posisi 2013 yang 7,75 juta hekatare. Artinya, 285,000 lahan pertanian beralih fungsi selama kurun 2013-2019 atau rata-rata 47.500 hektare per tahun. Bisa jadi alih fungsi lahan itu untuk pembangunan.
Meski terjadi penyusutan lahan pertanian, satu laporan dari Global Food Security Index menyebutkan ketahanan pangan Indonesia cenderung membaik dalam lima tahun terakhir. Skornya bertambah dari 50,7 pada 2015, naik ke 53,2 pada 2017, dan 62,6 pada 2019. Peringkat Indonesia juga terus naik dari posisi ke 75 (2015), lalu 68 (2017), dan 62 pada 2019, dari 113 negara yang dievaluasi.
Lembaga itu mengukur indeks dengan melihat beberapa hal. Pertama affordability atau kemampuan konsumen untuk membeli makanan, kedua availability atau kecukupan pasokan, dan ketiga tentang risiko gangguan pasokan.
Selain itu, indeks itu juga mengukur kapasitas negara mendistribusikan pangan, faktor kualitas, serta keamanan pangan. Penilaian mereka mengabaikan sumber pangan, tidak peduli apakah bahan pangan diproduksi oleh petani di dalam negeri atau didatangkan melalui importasi.
Oleh karena itu, peringkat pertama Indeks Ketahanan Pangan Global ditempati oleh Singapura. Padahal kita mengetahuinya, negeri jiran itu memiliki segenap keterbatasan sumber daya pertanian.
Bagi Indonesia, kenaikan indeks itu menggambarkan perbaikan dalam pengadaan, daya beli, distribusi barang, atau kualitas pangan yang tersedia. Tapi, apakah mata pencariannya sebagai produsen pangan masih menjanjikan pada masa depan?
Lahan Pertanian
Indonesia menyakini ketahanan pangan juga menyangkut ketersediaan lahan pertanian yang memadai untuk menyangga ketahanan pangan tersebut, selain tetap terjaganya cadangan pangan nasional.
Dalam rapat terbatas Lanjutan Pembahasan Food Estate di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/9/2020), Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa penyediaan cadangan pangan nasional adalah agenda strategis. Ini, tambah Jokowi, agenda yang harus dilakukan dalam rangka mengantisipasi kondisi krisis pangan akibat pandemi Covid-19.
“Bahkan, FAO sendiri sudah mengingatkan berkali-kali mengenai krisis pangan tersebut,” ujar Kepala Negara.
Adanya program penyediaan pangan nasional juga untuk mengantisipasi perubahan iklim. Selain itu juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor pangan. “Ini penting bagi bangsa ini.”
Wajar bila presiden khawatir soal penyediaan pangan. Dalam konteks ini, sinyalemen yang disampaikan Kepala Negara tergambarkan dari data BPS menyebutkan produksi padi pada 2019 hanya sebesar 54,60 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), turun sebanyak 4,60 juta ton atau 7,76% dibandingkan dengan 2018.
Bila di 2020 produksi pangan nasional cukup baik dan aman dalam menyangga kebutuhan, itu berkat tak lepas dari kondisi cuaca yang mendukung. Tak ada kemarau kering seperti 2019. Namun, ke depan tak selalu cuaca akan bersikap bersahabat. Adakah Indonesia siap menghadapi fluktuasi ini?
Menyikapi persoalan pangan itu, Kementerian Pertanian pun sudah menyiapkan empat strategi untuk memaksimalkan produksi sektor pertanian. Pertama, melakukan ekstensifikasi pada lahan rawa. Kedua, mempersiapkan pangan lokal sebagai subsitusi makanan pokok yang selama ini mengandalkan beras. Ketiga, membentuk lumbung pangan di tiap wilayah, mulai dari desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi. Terakhir, membuat food estate di beberapa tempat dengan modern farming.
Masalah ketahanan pangan telah menjadi isu krusial cukup lama. Dalam satu kesempatan, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pun mengingatkan negara ini masih membutuhkan perluasan lahan sebesar 200.000 hektare untuk menambah pasokan pangan, khususnya di tengah pandemi Covid-19.
“Saya masih butuh 200.000 ha untuk mencapai katakanlah bila kita ingin agar stok masa tanam (MT) I dan MT II ada stok tambahan. Artinya, bila Covid-19 ini terus berlangsung dua tahun, saya sudah mempersiapkan makanan,” ujar Syahrul, Rabu (26/8/2020).
Khusus untuk food estate, pemerintah telah menyiapkan dua lokasi, di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara. Di Kalimantan Tengah, areanya meliputi Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau. Di kedua kabupaten di Kalimantan Tengah itu terdapat lahan sawah seluas 148.000 hektare yang sudah ada irigasinya. Di lahan ini, menurut rencana, akan ditanam padi.
Di kedua kabupaten itu juga terdapat lahan yang belum teririgasi seluas 622.000 haktare. Menurut rencana, lahan itu akan dikembangkan untuk tanaman industri seperti singkong, jagung, dan lahan pendukung budidaya peternakan.
Berikutnya, di Sumatra Utara, terutama Kabupaten Humbang Hasundutan. Proyek lumbung pangan di Humbang Hasundutan tengah disiapkan lahan sekitar 30.000 hektare untuk dikelola hingga tiga tahun ke depan. Pada tahun ini, di kabupaten itu tengah dikerjakan sebuah klaster terpadu seluas 1.000 hektar sebagai percontohan nasional.
“Ini yang ingin kita prioritaskan terlebih dahulu,” kata Jokowi dalam rapat terbatas, Rabu (23/9/2020).
Presiden juga mengingatkan pentingnya perumusan rencana induk lumbung pangan. Dia pun meminta rencana induk tersebut segera diselesaikan. Selain itu, Jokowi juga meminta jajarannya untuk menyelesaikan infrastruktur pendukung akses jalan.
Jokowi pun meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil menyelesaikan masalah pembebasan lahan di lumbung pangan. “Masih terdapat beberapa masalah yang perlu segera diselesaikan yaitu yang berkaitan dengan kepemilikan lahan di area food estate. Saya meminta Menteri ATR/BPN [Sofyan Djalil] untuk menyelesaikan masalah pembebasan lahan di lumbung pangan tersebut,” tambah Jokowi.