Jakarta – Masih banyak importir yang belum melunaskan kewajiban tanam bawang putih lokal minimal 5% dari kuota impor yang diberikan Kementerian Pertanian (Kementan). Padahal, importir bawang putih wajib melunaskan kewajiban tersebut dalam jangka waktu maksimal 1 tahun setelah Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) terbit.
Berdasarkan catatan Kementan, kebijakan wajib tanam di tahun 2020 baru terealisasi sebesar 30% atau 2.052 hektare (Ha) dari total wajib tanam sebesar 6.038 Ha. Adapun importir yang mendapatkan wajib tanam itu sebanyak 79 perusahaan.
Menurut Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto, pihaknya sudah memasukkan importir yang tak melunaskan kewajiban tanam sampai batas waktu 1 tahun ke dalam daftar hitam. Sehingga, importir tersebut tak bisa lagi mengajukan RIPH bawang putih.
“RIPH yang tidak melunasi, memang banyak yang belum lunas dari 2018-2020, ini kita identifikasi. Jadi kita blacklist dalam sistem. Jadi dia tidak bisa, dalam sistem sudah terblokir nama-nama perusahaan tersebut. Jadi tidak bisa dia mengajukan RIPH kalau perusahaannya belum melaksanakan kewajibannya,” ungkap Prihasto dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI, Selasa (19/1/2021).
Merespons itu, Ketua Komisi IV DPR Sudin dari fraksi PDIP menanyakan apakah ada importir yang telah masuk daftar hitam, kemudian mengubah nama perusahaannya demi bisa mengajukan RIPH lagi.
Menjawab hal itu, Prihasto mengaku selama ini pihaknya memang kesulitan mengidentifikasi apakah ada perusahaan-perusahaan ‘nakal’ tersebut.
“Ganti nama ini yang cukup menyulitkan kita untuk mengidentifikasi. Jadi ini perlu dukungan dari instansi lain bahwa perusahaan tersebut ganti nama. Kalau ada informasinya perusahaan tersebut kita akan terapkan,” ungkap Prihasto.
Selain meminta persoalan ganti nama dan alamat perusahaan dari importir yang ‘nakal’ untuk diselesaikan, Sudin juga meminta pemerintah mewajibkan importir bawang putih untuk mempunyai gudang yang layak sebelum mengajukan RIPH.
“Kenapa nggak bikin Peraturan Menteri baru bahwa harus jelas nama kantor, alamat, dan gudang? Itu kan lebih spesifik lagi,” ujar Sudin.
Menjawab hal itu, Prihasto mengatakan ketentuan gudang ada di Kemendag. Terkait identifikasi importir ‘nakal’ yang mengganti nama perusahaan, pihaknya akan berupaya semaksimal mungkin. “Itu akan menjadi perhatian kami,” imbuh Prihasto.
Lalu, bagaimana hasil kesimpulan rapat? Klik halaman selanjutnya.