Jakarta – Lahan bawang merah seluas kurang lebih 140 hektare dengan potensi hingga 600 hektare di Imogiri, Bantul, Yogyakarta sudah menerapkan budidaya ramah lingkungan. Hal ini ditandai dengan penerapan dan pemanfaatan embung dan penggunaan teknologi hemat air berupa irigasi sprinkle.
Saat ini, Kementan tengah menggenjot produksi komoditas hortikultura yang sehat dan berdaya saing lewat implementasi program Gerakan Mendorong Produksi, Daya Saing dan Ramah Lingkungan Hortikultura (Gedor Horti). Ini dilakukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim.
Kementan juga melakukan pendekatan adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim, pengukuran konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) berupa pengukuran nitrogen oksida (N20) dan Karbondioksida (CO2) yang dilakukan pada tanaman bawang merah di Kampung Sayuran Hortikultura.
Dalam hal ini, Dirjen Hortikultura Prihasto Setyanto menegaskan masalah efek GRK memang perlu ditanggulangi bersama-sama oleh semua pihak. Salah satunya dimulai dari pengukuran Gas Rumah Kaca pada tanaman bawang.
“Iya, betul. Saya sudah mengarahkan kepada Direktur Perlindungan untuk segera melakukan pengukuran GRK pada tanaman bawang merah organik dan bawang merah konvensional. Itu sudah berlangsung dan dalam waktu dekat kita bisa menyimpulkan,” ujar pria yang akrab disapa Anton ini dalam keterangan tertulis, Kamis (6/5/2021).
Anton paham betul dampak negatif dari GRK ini. Ia juga tidak menampik apabila GRK tidak ditanggulangi secara bersama-sama maka bisa berakibat buruk pada ekosistem tanaman.
“Ini sudah menjadi permasalahan global jadi kita semua harus ikut berkontribusi untuk merawat bumi. Pemanasan global bisa menghambat pertumbuhan tanaman. Dampak lebih buruknya bisa memicu terjadinya kekeringan dan gagal panen, ” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Perlindungan Hortikultura, Inti Pertiwi juga menyampaikan tahun ini tim dampak perubahan iklim dan bencana alam bekerja sama dengan Balintan, Pati dan BPTPH Yogyakarta berkonsentrasi dalam pengukuran GRK.
Outputnya berupa terukurnya nilai gas Nitrogen Oksida (N2O) dan Karbondioksida (CO2).
“Tim saat ini berada di lokasi. Tepatnya di kampung hortikultura kawasan bawang merah ramah lingkungan di Nawungan, Imogiri Bantul. Hal ini kita harapkan bisa menjadi langkah konkrit dalam rangka mengantisipasi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di sub sektor hortikultura,” katanya.
Di sisi lain Koordinator Dampak Perubahan Iklim dan Bencana Alam, Direktorat Perlindungan Hortikultura, Muhammad Agung Sunusi menjelaskan pengukuran gas rumah kaca harus dilakukan secara bertahap.
“Iya, ini kita laksanakan selama lima periode. Sekarang ini adalah periode awal pengukuran. Pengukuran selanjutnya dilakukan pada umur 15 hari setelah tanam (HST), disusul 30 HST, 45 HST dan 60 HST. Dengan demikian pengamatan dan pengambilan sampel terpenuhi,” terangnya.
Melihat hal ini, Ketua Kelompok Tani Lestari Mulyo, Juari mengapresiasi langkah Kementan. Juari menilai sampai saat ini memang petani tidak menyadari jika penggunaan pestisida dan pupuk kimia bisa meningkatkan kadar konsentrasi GRK.
“Alhamdulillah sekarang itu kita dapat ilmu dari Kementan tentang berbudidaya ramah lingkungan. Penggunaan PGPR, Trichoderma, penggunaan liat kuning dan pemanfaatan refugia bisa berdampak pada penurunan efek GRK di sektor hortikultura ini,” imbuhnya.
Petani bawang merah itu juga berpesan kepada seluruh petani di negeri ini untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia. Sebagai gantinya, petani dapat menggunakan pupuk kandang atau pupuk kompos. Begitu juga dengan pestisida yang bisa substitusi dengan likat kuning dan lampu pengusir hama atau light traps.
(ega/ara)