Jakarta – Meski harga cabai dua bulan terakhir naik, Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto menegaskan tak ada impor. Koordinasi dengan berbagai pihak untuk mempercepat pasokan dan meredam kenaikan harga cabai rawit pun telah dilakukan.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Badan Ketahanan Pangan, BUMN yakni PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Paguyuban Pedagang dan Pengelola Pasar Induk Kramat Jati, serta dengan para champion cabai Indonesia,” tegas Anton panggilan akrabnya dalam keterangan tertulis, Minggu (14/3/2021).
Dalam rakor tersebut dibahas berbagai upaya jangka pendek yang dapat dilakukan untuk menstabilkan pasokan dan meredam kenaikan harga cabai rawit. BLP menggelar pasar cabai murah di 24 titik yang berlangsung tanggal 8-20 Maret 2021. Ditjen Hortikultura akan mendukung pendistribusian cabai dengan fasilitasi sarana distribusi yang dimiliki serta menyusun perjanjian kerja sama dengan RNI untuk upaya stabilisasi pasokan ini.
PT Rajawali Nusindo (RN), anak perusahaan PT RNI sebagai off taker yang menjembatani antara champion/petani cabai dengan Pasar Induk Kramat Jati juga dapat memfasilitasi petani dalam mencarikan pembeli serta memanfaatkan infrastruktur yang dimilikinya di seluruh Indonesia.
Baca juga : Kementan-BNI Kolaborasi Bangun Ekosistem Smartfarming
Selain upaya tersebut, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha memprediksi bulan April depan pasokan sudah aman sehingga tak perlu ada impor cabai. Data Early Warning System (EWS), menurutnya menunjukkan neraca produksi cabai rawit surplus sebesar 42 ribu ton di bulan April dan 58 ribu ton di bulan Mei.
Selain menggandeng BUMN sebagai off taker, ke depan Ditjen Hortikultura juga akan mendorong petani menerapkan inovasi rainshelter untuk melakukan tanam pada bulan off season (Juli-Agustus).
Untuk menjaga pasokan cabai di DKI Jakarta sebagai barometer harga komoditas nasional, maka perlu ada buffer stock berupa standing crop di wilayah-wilayah daerah penyangga yang bisa dikendalikan pemerintah dan terus mengedukasi masyarakat untuk mengonsumsi cabai olahan (kering, bubuk, pasta, sambal botol, saud) sehingga tak tergantung pada cabai segar.
“Masyarakat juga dapat melakukan pengawetan sendiri pada saat harga cabai sedang murah serta menggerakkan masyarakat rumah tangga untuk dapat bertanam aneka cabai di pekarangan, sehingga tidak terlalu terpengaruh apabila terjadi lonjakan harga cabai di pasaran,” ujar Tommy.
Ketua Asosiasi Agribisnis Indonesia, Abdul Hamid mengatakan pemerintah diimbau untuk menahan diri agar tidak impor cabai. Anggota AACI dan mitranya di berbagai daerah menyampaikan kini cabai mulai panen, terutama dari dataran tinggi seperti Kabupaten Bandung, Sukabumi, Magelang, Temanggung, Kediri, dan Blitar dan siap masuk ke pasar. Diperkirakan mulai akhir Maret atau awal April pasokan akan bertambah dan harga akan stabil.
“Komitmen AACI bersama pemerintah ke depannya akan memperbaiki sistem budidaya petani dengan optimalisasi teknologi sebagai upaya peningkatan produktivitas,” jelasnya.
Sebelumnya, harga cabai rawit mengalami kenaikan dipacu pasokan yang berkurang akibat berbagai faktor. Mulai dari berkurangnya pertanaman karena rendahnya harga sepanjang 2020 akibat dampak pandemi COVID-19, ditambah dengan faktor cuaca ekstrim (la nina) yang mengganggu produksi hingga bencana alam yang merusak pertanaman di beberapa wilayah sentra produksi.
(fhs/hns)