Komandanpangan.com – Pemerintah terus memperketat pengawasan dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) setelah maraknya kasus keracunan yang menimpa ribuan penerima manfaat.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menegaskan bahwa setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pengelola dapur MBG kini diwajibkan memiliki Sertifikat Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS) demi memastikan keamanan pangan.
“Harus atau wajib hukumnya. Setiap SPPG harus punya SLHS. Harus,” tegas Zulhas dalam Konferensi Pers Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Program Prioritas Makan Bergizi Gratis di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Minggu.
Zulhas menambahkan, SLHS sebenarnya telah menjadi salah satu persyaratan standar bagi pengelola dapur MBG. Namun, menyusul meningkatnya kasus keracunan makanan bergizi gratis, pemerintah memutuskan untuk mewajibkan seluruh SPPG segera mengurus sertifikasi tersebut.
“Akan dicek. Kalau tidak ada, ini (keracunan) akan kejadian lagi dan lagi,” ujarnya. Ia menekankan bahwa keselamatan anak-anak penerima MBG harus menjadi prioritas utama.
Sebagai langkah pengawasan berkelanjutan, Zulhas juga meminta Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, agar puskesmas di seluruh Indonesia lebih aktif melakukan pemantauan rutin terhadap dapur MBG.
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses pengolahan dan penyajian makanan benar-benar memenuhi standar higienis dan aman dikonsumsi.
“Semua langkah diambil secara terbuka agar masyarakat yakin bahwa makanan yang disajikan aman dan bergizi bagi seluruh anak Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu, Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan adanya lonjakan insiden keamanan pangan sepanjang Januari hingga September 2025.
Tercatat sebanyak 70 kasus keracunan dengan 5.914 penerima MBG terdampak. Angka ini memicu keprihatinan pemerintah, sekaligus mempertegas urgensi pengawasan ketat terhadap dapur MBG.
Rinciannya, sembilan kasus terjadi di wilayah I (Sumatera) dengan 1.307 korban, termasuk di Kabupaten Lebong, Bengkulu, dan Kota Bandar Lampung, Lampung.
Di wilayah II (Pulau Jawa), jumlah kasus mencapai 41 dengan 3.610 penerima MBG terdampak. Sementara itu, wilayah III yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara mencatat 20 kasus dengan 997 penerima manfaat terkena dampak.
Berdasarkan hasil investigasi, penyebab utama keracunan berasal dari bakteri berbahaya yang terdeteksi pada berbagai bahan pangan dan air.
Beberapa di antaranya adalah e-coli pada nasi, tahu, ayam, dan air; staphylococcus aureus pada tempe dan bakso; salmonella pada ayam, telur, serta sayuran; bacillus cereus pada menu mie; serta coliform, PB, klebsiella, dan proteus dari air terkontaminasi.
Dengan tingginya jumlah kasus, pemerintah menegaskan bahwa pemenuhan standar higienitas di dapur MBG bukan lagi sekadar anjuran, melainkan kewajiban yang harus dijalankan.
Upaya ini diharapkan mampu mencegah terulangnya keracunan makanan bergizi gratis serta memberikan jaminan keamanan dan kualitas gizi bagi seluruh penerima manfaat program MBG.













