Jakarta –
Tempe menjadi salah satu menu favorit di Indonesia, baik diolah sebagai lauk maupun camilan. Makanan rakyat yang terbuat dari kedelai ini amat mudah ditemui di tukang gorengan hingga restoran.
Namun, pekan lalu tempe sempat hilang dari peredaran dan bikin heboh. Penyebabnya lantaran harga kedelai impor meroket sehingga produsen atau pengrajin tempe menghentikan produksi alias mogok.
Menurut Kasubdit Kedelai Direktorat Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementan Mulyono produksi kedelai di beberapa negara produsen kedelai dunia sedang turun. Sementara itu, permintaan impor justru naik tajam dari China.
Hal itu disinyalir membuat harga kedelai global naik menjadi Rp 7.000 per kilogram atau mengalami kenaikan 35%.
“Saat pandemi produksi kedelai di AS, Brasil, Argentina, Rusia, Ukraina, dan lain-lain menurun. Sementara itu, China impornya naik menjadi 92 juta ton atau naik 28%, sehingga harga (kedelai) global Rp 7.000/kg, naik 35%,” ujar Mulyono kepada detikcom 3 Januari 2021.
Ya, tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia ketergantungan kedelai impor untuk memproduksi tempe. Ketika harga kedelai dunia melonjak langsung berimbas kepada pembuat tempe dalam negeri.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin pernah mengatakan Indonesia mulai membuka keran impor kedelai secara deras sejak 1998.
Sebagai informasi, pada 1998, sesuai kesepakatan yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF, peran Bulog sebagai pengelola persediaan dan harga beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan dan bahan pangan lainnya harus dilepaskan. Hanya beras yang masih bisa dikontrol oleh Bulog.
“Tahun 1998 akhirnya diberikan perdagangan bebas, Bulog tidak lagi menangani dan dilimpahkan ke importir,” kata dia 5 September 2013.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan melambungnya harga kedelai Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF).
Sebelum 1998, Indonesia meminta IMF untuk membantu mengatasi masalah krisis ekonomi di Indonesia, tetapi ada syaratnya yakni Indonesia harus membuka pasarnya.
“Indonesia perlu buffer stock kejadian seperti ini kedelai naik, karena permintaan IMF, Indonesia diminta membuka pasarnya, sekarang ini ngapain peduli dengan IMF,” kata eks Ketua KPPU Tajuddin Noer Said 30 Juli 2012.
Sayangnya, kalau pun impor mau direm, produksi kedelai lokal masih sangat rendah. Ada beberapa penyebab utama rendahnya produksi kedelai lokal di Indonesia yang pernah dihimpun detikcom.
Salah satu pemicu rendahnya produksi kedelai lokal adalah minimnya lahan kedelai di tanah air.
Selain faktor lahan, rendahnya produktivitas kedelai lokal menjadi alasan lain. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kedelai lokal adalah tidak adanya ketersediaan subsidi pupuk dan pemberian benih kedelai varietas unggul ke petani.
Harga kedelai lokal saat panen di tingkat petani cukup rendah. Hal itu juga membuat para petani ogah dan tidak bergairah menanam kedelai lokal. Para petani lebih memilih menanam padi atau jagung ketimbang kedelai.
Menteri Pertanian (Mentan) periode 2009-2014 Suswono saat masih menjabat pernah menyatakan lahan kedelai kalah saing dengan jagung yang harga jualnya lebih mahal.
“Memang soal lahan ini penting. Tidak ada pilihan lain untuk mencapai swasembada kedelai memang harus ada tambahan lahan. Sebab kedelai dan jagung ini posisinya trade off. Karena menanamnya dan lahannya relatif sama. Waktunya sama. Sehingga petani itu melakukan pilihan mana yang lebih menguntungkan,” tutur Suswono 27 Juli 2012.
(toy/zlf)