Site icon Pangan Bisa!

Impor Bahan Pangan Butuh Solusi Serius

PERSOALAN impor bahan pangan yang tidak ditangani secara tuntas akan menjadi sebuah ancaman serius, terutama impor komoditas pangan yang jumlahnya mencapai jutaan ton. Hal ini bukan masalah baru, namun pemerintah tak kunjung menemukan solusi yang tepat dalam mengatasinya. Menghadapi persoalan klasik tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta aktivitas yang berkaitan dengan pangan harus diseriusi.

Dalam arahan pada pembukaan “Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian 2021” awal pekan ini, Presiden Jokowi mengaskan, “Kedelai hati-hati, jagung hati-hati, gula hati-hati yang masih impor jutaan ton. Begitu pula beras, meskipun hampir dua tahun kita enggak impor beras, apakah konsisten bisa kita lakukan tahun-tahun mendatang?,” ujarnya. Karena itu, pemerintah sedang mencari cara atau desain yang tepat dalam meminimalkan masalah impor pangan.

Saat ini terdapat tiga komoditas pangan impor yang menjadi sorotan sejak memasuki awal tahun, dari gula, daging, hingga kedelai. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), Indonesia masih defisit gula konsumsi dan industri yang mencapai 3,62 juta ton per tahun. Adapun kebutuhan gula nasional (konsumsi dan industri) mencapai 5,8 juta ton per tahun. Di sisi lain, kemampuan produksi gula dalam negeri baru 2,18 juta ton per tahun.

Selanjutnya komoditas pangan lain yang juga selalu menempati urutan teratas jadi sorotan adalah impor daging sapi dan kerbau, yang jumlahnya selalu pada hitungan ratusan ribu ton per tahun. Untuk tahun ini, berdasarkan hitung-hitungan pihak Kementan, neraca ketersediaan daging sapi dan kerbau tercatat minus 223.000 ton. Dengan demikian, dibutuhkan penambahan dari luar alias impor 281.000 ton, termasuk untuk cadangan pada Januari-Februari 2022. Kebutuhan impor daging sapi dan kerbau tahun ini sudah mulai turun dibandingkan tahun lalu yang mencapai sebanyak 324.019 ton.

Nah, hal yang membuat heboh dalam sepekan ini adalah kelangkaan impor kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu dan tempe. Dampaknya, makanan favorit masyarakat itu hilang di pasar karena para produsen tempe berhenti berproduksi akibat kelangkaan bahan baku. Tempe sebagai makanan sehari-hari yang disantap masyarakat barangkali masih banyak yang belum tahu kalau bahan utamanya justru harus diimpor dari sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat (AS). Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi, mengakui bahwa harga kedelai impor saat ini telah mencetak rekor tertinggi dalam enam tahun terakhir.

Pihak Kementerian Perdagangan (Kemendag) mensinyalir sejumlah faktor penyebab harga kedelai impor meroket dalam masa pandemi Covid-19. Di antaranya gangguan cuaca La Nina di Amerika Latin yang berdampak negatif di Brasil dan Argentina sebagai negara produsen kedelai. Diperparah aksi mogok pekerja logistik dan distribusi di Argentina yang menghambat proses pengiriman kedelai. Selain itu, kenaikan harga kedelai impor juga dipicu tingginya permintaan China. Pada 2019 dan 2020, sebagaimana dituturkan Muhammad Lutfi, seluruh ternak babi di China dimusnahkan karena terjangkit flu babi. Sekarang mulai ternak lagi dengan jumlah sekitar 470 juta yang membutuhkan makanan dari kedelai secara teratur.

Lalu, seberapa besar sebenarnya kebutuhan kedelai di dalam negeri sehingga begitu tergantung pada kedelai impor? Untuk tahun ini, sebagaimana prediksi Kepala Badan Ketahanan Pangan Agung Hendriadi, Indonesia butuh impor kedelai 2,6 juta ton. Sebagai contoh, kebutuhan kedelai hingga Maret 2021 diprediksi mencapai 278.180 ton, sedang kemampuan produksi dalam negeri baru sebanyak 28.754 ton. Menjadi persoalan serius karena harga kedelai di tingkat distributor terus mengalami kenaikan dan kini sudah mencapai Rp10.000 hingga Rp10.400 per kilogram. Pemerintah mengakui produksi kedelai domestik belum bisa mencapai target potensi yang ada.

Untuk tahun ini, pemerintah menyiapkan lahan 325.000 hektare untuk menggenjot produksi kedelai. Hanya, lahan seluas itu cuma mampu menghasilkan 1,5 juta ton kedelai. Para petani juga kurang berminat menggarap kedelai karena keuntungannya kecil dengan biaya produksi tinggi. Boleh jadi, sama dengan komoditas pangan impor lainnya menjadi tidak ekonomis bila diproduksi di dalam negeri. Ini masalah besar bila tidak ditemukan solusi secepatnya, mengingat penduduk negeri ini yang harus diberi makan mencapai 270 juta.

Exit mobile version