Jakarta, CNBC Indonesia – Melonjaknya harga kedelai dan daging sapi dalam beberapa waktu terakhir membuat Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjadi sasaran Komisi IV DPR RI. Ketua Komisi IV DPR RI Sudin mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Ia memberi gambaran bagaimana harga daging sapi terus merangkak naik dalam setengah tahun terakhir. Dimulai dari harga US$ 2,9/Kg, kini sudah menyentuh US$3,6/Kg bobot hidup atau Rp 55.460 per Kg sapi impor dari Australia. Ketika hal ini terjadi, Indonesia sebagai negara yang terbiasa langganan impor sapi menjadi sangat terganggu.
“Kita harus benar-benar mencermati, kenapa terjadi pergerakan (harga) sapi tahun 2020? Pertama terlenanya kita dengan impor, ini tugas Dirjen PKH (Peternakan dan Kesehatan Hewan), jangan pakai lagu lama, ini harus pakai lagu baru. Kenaikan harga dipicu kebakaran di Australia tahun 2019, kemudian tahun 2020 juga terjadi banjir,” kata Sudin.
Kekesalan Sudin tidak lepas dari besarnya anggaran Direktorat Jenderal tersebut selama tiga tahun terakhir, misalnya saja tahun lalu pagu anggaran semula Rp 2,022 Triliun menjadi Rp 1,21 Triliun. Meski anggaran besar, namun masalah tetap muncul, salah satunya kenaikan harga daging ini.
Untuk itu, Kementan harus mencari cara agar harga sapi di pasaran tetap bisa murah. Jika tidak, maka protes publik atas kinerja Menteri Pertanian akan semakin deras mengalir.
“Yang kami khawatirkan situasi pangan ke depan karena kita hadapi bulan puasa dan lebaran, ini 2021 haqqul yakin harga sapi lebih naik dari hari ini, karena stok banyak dibawa ke Vietnam dari Australia, dari Vietnam dipotong dibawa ke China. Mentan siap-siap kalau nggak ada solusi siap-siap di-bully lagi masalah daging,” kata Sudin.
Selain memikirkan bagaimana agar produksi sapi dalam negeri meningkat, Kementan juga punya tanggung jawab dalam pengembangan kedelai lokal.
“Kalau kedelai Kementerian Pertanian tidak pernah dilibatkan dalam regulasi, tetapi tugasnya adalah memproduksi kedelai apabila dananya cukup.
Namun, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengakui bahwa produk kedelai produksi Indonesia sulit bersaing dengan produk kedelai impor Amerika Serikat dan Brazil.
“Tidak mungkin petani kedelai Indonesia head to head dengan petani kedelai Amerika, Brasil pasti kalah. Harganya di sana Rp 5.000 sekian (per kg), kita kalau produksi di atas Rp 6.500 baru ada untungnya,” kata SYL dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, Senin (25/1/2021).
Perbedaan harga produksi itu menjadikan petani Indonesia sulit bersaing karena keuntungannya pun tidak banyak. Selama ini untung kedelai lebih kecil dibanding komoditas lain.
“Untuk kedelai, 1 hektare lahan hanya bisa menghasilkan keuntungan Rp 1,5-2 juta, itu pun termasuk besar, kemudian jagung bisa menghasilkan untung 4-5 juta/hektare, sementara padi Rp 5-6 juta/hektare. Jadi dipaksa apapun mungkin nggak bisa,” sebut SYL.
Dari sini bisa terlihat bagaimana wajar minat petani kecil untuk menanam kedelai begitu kecil. Demi meningkatkan minat tersebut tentu bisa, asalkan ada harga pokok penjualan (HPP).
“Pernah kedelai swasembada di Indonesia? pernah zaman Pak Harto dulu tapi HPP 6 kali lebih besar dari harga beras, kita petani tidak diapa pun mau tanam itu. Yang makan kedelai bukan orang Jawa saja tapi sampai Papua, kita bisa sepanjang harga dibuatkan HPP. Kita butuh HPP masuk lartas (larangan terbatas), kalau nggak sulit dengan kekuatan yang ada,” papar mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu.
Faktor lain yang membuat Indonesia kalah dari kedelai impor adalah adanya larangan produksi untuk Genetically Modified Organism (GMO), di antaranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal, sebagian besar produk impor yang masuk ke Indonesia masuk ke dalam klasifikasi itu. SYL mengakui itu juga menjadi salah satu penyebab.
Permasalahan kedelai itu bukan hanya dari segi output, jika mengukur lebih jauh maka dari hilir perlu menjadi perhatian, yakni masalah pupuk. Masalah ini sempat menjadi sorotan Presiden Joko Widodo soal efektivitas anggaran pupuk subsidi terhadap produksi pertanian di Indonesia. Selain itu, pupuk subsidi juga dikaitkan dengan masalah kelangkaan setiap tahun.
Mentan mengklaim selama ini pemerintah di tingkat pusat telah melaksanakan program dengan baik, namun Ia mensinyalir adanya keterlambatan birokrasi di sisi pemerintah daerah yang membuat ketersediaan pupuk menjadi langka.
“Persoalan pupuk ada lini 1, lini 2, lini 3, lini 4 dan lini 5. Lini 1 hingga 2 pengawasan dan arahan di Menteri, 2 sampai 3 biasanya Gubernur, 3 sampai 4 Bupati. Sekarang ada Bupati belum beri SK (surat keputusan) penjabaran ke lini 5, ini dinamika di lapangan,” katanya.
Lambannya birokrasi terlihat kala Ketua Komisi IV DPR RI Sudin menyebut ada 57 Kota dan Kabupaten se-Indonesia yang belum mengeluarkan penerbitan SK. Namun, Kementan membantah dan menyatakan kini hanya ada 9 pimpinan daerah yang belum mengeluarkan SK tersebut. Daerah tersebut adalah Batu Bara, Padang Sidimpuan, Barito Utara, Katingan, Sorong (Kabupaten), Manokwari, Sorong selatan, Teluk Bintan serta Kota sorong.
“Apa pupuk bisa diselesaikan hanya dengan bangun pendekatan fungsional struktural? Nggak bisa, karena tuntutan pupuk yang ada 23 juta ton. Kemudian diusulkan melalui RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok) yang ada. Kemudian setelah di-cleansingyang tidak bisa tidak (harus) 12 juta ton, yang disetujui cuma 7 juta ton, pasti adalegyang nggak benar,” sebut SYL.
Kebutuhan 23 juta ton pupuk itu untuk memenuhi kebutuhan nasional dengan luas baku sawah 7,46 juta hektare. Meski tidak sepenuhnya mendapat jatah subsidi, namun Ia mengklaim nilai tambah produksi sebagai dampak pupuk bersubsidi mencapai Rp 98,4 triliun. Jika dibandingkan anggaran yang digunakan rata-rata dari 2014-2020 Rp 28,1 triliun, maka nilai manfaat mencapai 250%.
Namun, Presiden Jokowi masih melihat ada carut marut dalam pelaksanaannya. SYL pun menjawab alur penyalurannya.
“Pupuk itu yang pertama uangnya ada di Menteri Keuangan, Industrinya di BUMN. Kementan atur RDKK. Proses RDKK dari Kabupaten terlegalisir sesuai syarat-syarat yang ada, kemudian dilegitimasi oleh Provinsi per Kabupaten, lalu masuk ke Kementan untuk ditetapkan, kemudian lanjut ke BUMN. Begitu prosesnya,” katanya.
(sef/sef)