Site icon Pangan Bisa!

Bukti RI ‘Kecanduan’ Impor Kedelai, 2010-2020 Nggak Pernah Absen!

Jakarta

Tahu dan tempe dikenal sebagai makanan khas bangsa Indonesia. Namun, mirisnya bahan baku tahu dan tempe, kedelai, harus diimpor dari luar negeri.

Dikutip dari data BPS, Minggu (3/1/2021), sejak tahun 2010, jutaan ton kedelai diimpor tiap tahunnya. Di tahun 2010 Indonesia mengimpor 1,74 juta ton kedelai.

Jumlahnya naik pesat di tahun 2011, kedelai diimpor hingga 2,08 juta ton. Jumlahnya menurun selama medio dua tahun berikutnya, impor kedelai menjadi 1,92 juta ton di tahun 2012, dan turun menjadi 1,78 juta ton di tahun 2013.

Namun, jumlah itu kembali melonjak di tahun 2014, impor kedelai mencapai 1,96 juta ton saat itu. Kemudian di 2015 jumlahnya menembus angka 2 juta ton, tepatnya 2,25 juta ton.

Sejak tahun 2015, impor kedelai terus berada di angka 2 juta ton. Masuk ke tahun 2016 jumlah impor kedelai mencapai 2,26 juta ton, dan melonjak tajam di tahun 2017 dengan jumlah 2,67 juta ton.

Kemudian di tahun 2018, jumlah impor kedelai kembali turun menjadi 2,58 juta ton. Namun, di tahun 2019 jumlahnya meningkat lagi menjadi 2,67 juta ton.

Sementara itu, di tahun 2020, hingga bulan Oktober, Indonesia sudah mengimpor kedelai sebanyak 2,11 juta ton kedelai.

Lalu apa sebenarnya biang kerok Indonesia kecanduan impor kedelai?

Menurut Kasubdit Kedelai Direktorat Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Mulyono, pemerintah memang tak bisa banyak menahan arus impor kedelai. Pasalnya kedelai tidak masuk dalam komoditas berlabel lartas alias pelarangan dan pembatasan.

Mulyono mengatakan impor kedelai akan masuk kapan saja dan berapapun banyak volumenya tanpa perlu rekomendasi dari pihak manapun, termasuk Kementan.

“Importasi kedelai termasuk komoditas non-Lartas berarti bebas masuk kapan saja dan berapapun volumenya, dan tidak melalui rekomendasi Kementan,” ujar Mulyono kepada detikcom.

Di sisi lain, produksi lokal juga tak bisa mendukung kebutuhan nasional kedelai. Pasalnya, petani kedelai makin berkurang jumlahnya.

Harga jual panen di tingkat petani yang sangat rendah menjadi alasannya. Mulyono menjelaskan banyak petani kedelai justru beralih ke komoditas lainnya, yang lebih menguntungkan.

Ditambah lagi, harga acuan pembelian kedelai lokal di tingkat petani yang dipatok Rp 8.500 per kilogram yang ditetapkan dalam Permendag no 7 Tahun 2020 tidak berjalan dengan baik di lapangan.

“Hambatannya, saat ini minat petani untuk menanam kedelai semakin berkurang. Hal ini dikarenakan harga jual panen di tingkat petani sangat rendah, sehingga petani beralih ke komoditas lain yang lebih menjanjikan,” ujar Mulyono.

(dna/dna)

Exit mobile version